06 August 2008

Saat Eksekutor Takut Dieksekusi Mati

Hari ini ada berita menggelikan yang saya baca di KOMPAS.COM, yang menyebutkan jika Tim Pembela Muslim (TPM), kuasa hukum terpidana mati Amrozi Cs, mengajukan pemahaman pengujian undang-undang nomor 2/PNPS/Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.

Dalam berita ini disebutkan jika TPM mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi, Rabu (6/8). Menurut salah satu anggota TPM, AW Afnan mengatakan bahwa UU 2/PNPS/Tahun 1964 disahkan Presiden Soekarno dan menjadi dasar pelaksanaan hukuman mati saat ini.

Menurut kuasa hukum Amrozi cs, UU ini sudah direvisi dengan terbitnya UU Nomor 5/1969 tentang pernyataan berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden.

Dalam pasal 2 UU 5/1969 berbunyi, "Terhitung sejak disahkannya undang-undang ini dinyatakan bahwa penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden sebagaimana termasuk bahwa materi penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-undang baru."

Hingga permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi, kata Afnan, belum pernah ada perbaikan terhadap tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Afnan juga menilai eksekusi mati dengan cara ditembak tidak konstitusional karena melanggar pasal 28i ayat 1 perubahan kedua UUD 1945 mengenai hak untuk tidak disiksa.

Eksekusi dengan ditembak mati menurut Afnan akan menimbulkan derita dalam proses kematian. "Kalau ditembak terpidana tidak akan langsung mati dan itu jelas merupakan penyiksaan," kata Afnan.

Afnan berharap permohonan uji materi ini bisa menunda pelaksanaan eksekusi Amrozi cs. Jika eksekusi mati tetap dilaksanakan hal tersebut masuk kategori pembunuhan karena proses permohonon uji materi sedang berlangsung. "Biasanya proses uji materi memakan waktu tiga bulan," ujarnya.

Membaca berita yang dimuat di KOMPAS.COM ini dan juga media lainnya, saya menjadi miris, karena “Malaikat Pencabut Nyawa” yang mengatasanamakan agama tertentu justru TAKUT menghadapi kematiannya, dan dengan berbagai macam cara berusaha menunda bahkan membatalkan eksekusi kematiannya.

Bagaimana mungkin TPM menyatakan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak justru akan MENYIKSA kliennya??? Sementara seperti yang kita tahu Amrozi cs justru lebih berharap dihukum mati dengan di PANCUNG,...

Kita semua juga tahu bahwa secara medis, hukuman mati dengan cara ditembak justru mempercepat kematian seseorang, Karena para terpidana mati bukan di tembak di kaki atau tangan, tetapi ditembak tepat di jantung, yang sudah tentu akan segera mengakhiri kehidupannya.

Pernahkan TPM berpikir bahwa Amrozi cs sudah melakukan eksekusi mati terhadap ratusan orang dengan mengatasnamakan AGAMA dan ALLAH???

Pernahkan TPM membayangkan bagaimana rasanya merasakan dahsyatnya penyiksaan LUKA BAKAR dan tubuh yang TERPOTONG-POTONG dan TERCERAI BERAI menjelang kematiannya akibat BOM buatan klien-nya itu?

Maaf tanpa bermaksud mendramatisir dan merasa diri hebat, tapi saya adalah salah satu orang yang membantu para korban meninggal dan selamat di RSUP Sanglah usai peristiwa EKSEKUSI MASAL Amrozi cs itu dilakukan. Saya juga salah satu orang yang melihat dan merasakan bagaimana penderitaaan anak dan istri serta keluarga para korban, akibat EKSEKUSI MASAL yang dilakukan para klien TPM ini.

Pernahkan TPM mengumpulkan serpihan daging dan tulang para korban untuk disatukan lagi, kendati sudah tidak utuh lagi...

Jenasah Tata Duka misalnya (sebelumnya saya minta maaf buat keluarga Tata Duka), dari hasil tes DNA yang dilakukan tim gabungan, kami hanya menemukan segenggaman tangan serpihan daging „bokong„ milik korban, itupun tanpa tulang belulang. Adik Tata Duka, yang bernama Johan Duka baru meninggal 2006 lalu, setelah empat tahun hidup bersama serpihan-sepihan bom yang masih bersaran gdan tidak bisa dikeluarkan dari orang tertentu tubuhnya... dan masih banyak lagi korban-korban meninggal lainnya yang tidak bisa saya ceritakan satu persatu.

Saya berharap TPM tidak hanya memikirkan „hak untuk tidak disiksa“ dan „hak untuk hidup“ kliennya semata, tetapi pikirkanlah juga penderitaan keluarga korban dan masyarakat lainnya yang „mati suri“, akibat terpuruknya ekonomi pariwisata Bali yang notabene adalah lokomotif pariwisata Indonesia.

Pernahkah TPM dan berpikir berhitung tentang itu? Bagaimana pariwisata di Lombok, Flores, Sumba dan tempat-tempat wisata lain mati karena ledakan bom Bali. Pernahkah TPM berpikir tentang angka bunuh diri masyarakat Bali akibat PHK karyawan hotel dan bisnis yang bangkrut akibat eksekusi itu.

Pernahkah TPM berpikir tentang bangkrutnya pengusaha UKM di Jawa Timur dan Jawa tengah yang menjual produk hasil usahanya ke Bali???

No comments: