27 September 2008

Laskar Pelangi

Saya belum membaca novel bagus itu, entah kenapa, padahal biasanya setiap ada buku atau pun novel bagus, saya selalu rela ber”puasa” hanya untuk membeli buku-buku bagus dan memenuhi rak dan lemari perpustakaan pribadi saya.

Malam minggu kemarin (27/09) akhirnya saya memutuskan untuk menonton Laskar Pelangi. Yah,..itung-itung hanya sekedar untuk menghibur diri dari kejenuhan kerja.

Dari rumah di Tuban, sepeda pun saya kayuh menuju bioskop 21 di Mall Kuta Galleria yang terletak di kawasan Simpang Siur Kuta. Jarak 3,5 km cukup untuk kardio, apalagi beberapa bulan terakhir kebiasaan bersepeda saya sudah mulai berkurang.

Setiba di loket, ternyata saya terlambat untuk sesi Laskar Pelangi pukul 20.30, dan hanya ada sesi berikutnya yang dimulai pukul 22.45. Pikir saya dalam hati menonton midnite begini seharusnya ada perempuan di sebelah saya mendampingi, tapi biarlah waktunya sudah berlalu jauh..

Entah kenapa saat menyaksikan scene pertama berlangsung, saya langsung jatuh cinta pada film ini, menurut saya teknik pengambilan gambarnya bagus banget, hanya saja, kelemahannya mungkin pada riset sejarah yang agak kurang mendalam tentang situasi Belitong di pertengahan 70-an itu.

Di awal-awal film ini cukup mengocok perut, karena berbagai dialog, serta tingkah polah anak-anak yang luar biasa ajaibnya ini,

Tokoh Ikal yang ingin mengundurkan diri dari posisi ketua kelas karena merasa tidak mampu dan bisa mengatur teman-temannya adalah sebuah nilai KEJUJURAN dari seorang anak kecil. Tapi niat ini urung setelah mendapat penjelasan dari Bu Muslimah. Coba saja bandingkan dengan beberapa Mentri yang masih aja PeDe dan tidak tahu malu, padahal kecelakaan pesawat, kapal laut dan kereta api masih kerap terjadi. Atau anggota Dewan kita yang ”terhormat” yang sudah ketahuan terima suap tapi masih saja menyangkal.. hehehe...

Penokohan Mahar juga sangat baik. Mahar yang terlihat sangat menguasai dunia seni ala anak-anak. Misalnya saat mengucapkan kata:

”Boy.. ini namanya musik jazz... dan musik jazz itu musiknya orang-orang pintar boy...” kata Mahar pada Ikal, yang kemudian disambut dengan raut tatap tidak mengerti dengan apa yang disampaikan Mahar.

”Ah.. kau tidak akan mengerti boy..” ucap Mahar sambil berlalu meninggalkan Ikal yang hanya bisa melongo. Ikal pun menoleh ke arah Lintang yang sedang bertengger di dahan dan meletakan jari tangan kanannya di dahi sambil membuat garis miring..

Atau dialog Mahar yang lain, saat Ia ditunjuk sebagai ketua tim karnaval: "Mahar apa kau setuju?" tanya bu Mus kepada Mahar. Mahar pun mengangguk sambil tersenyum bangga "Tenang bu, serahkan semuanya pada Mahar dan Alam ini.." Ketertarikan Mahar pada Asmat di pedalaman Papua yang akhirnya membuat tim karnaval 17-an SD Muhammadiyah memenangkan lomba.

Kemudian tokoh Lintang yang jenius alami. Oh ya,.. soal tokoh Lintang ini mengingatkan saya kepada kakak kandung saya yang sekarang tinggal di Miami, Christnitoury Amalo (Nito), yang cukup cerdas di mata pelajaran berhitung, seperti Matematika, Fisika dan Kimia, yang berhitung menggunakan logika dan tanpa menggoreskan pulpen dan pensil di atas kertas sekedar mengoret-oret hitungan hehehe.. miss U so Bro....

Pemilihan Cut Mini sebagai Bu Mus juga sangat mengena. Logat melayu Cut Mini tidak perlu dilatih lagi, karena Cut Mini sendiri sudah sangat fasih berdialek Melayu. Kulit yang kuning langsat berbalut kerudung coklat muda, menambah Cut Mini semakin elok dipandang mata

Tetapi saya tidak suka dengan kehadiran Tora Sudiro dan Rieke Dyah Pitaloka karena logat Melayu nya sangat kaku. Bahkan dalam beberapa dialog terlihat warna Sunda dalam logat Melayu si ”Oneng” dan si Tora.

Kehadiran tokoh baru yang tidak ada di novel seperti Pak Zul (Slamet Rahardjo) cukup membuat film ini semakin keren,.. selain karena Slamet Rahardjo salah satu idola saya hehehe juga karena scene dialog antara Pak Zul dan Pak Harman (Ikranegara) cukup membuat saya merinding karena mereka membicarakan bahwa tugas sejati guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik para murid dengan pendidikan budi pekerti, yang selama ini sudah hilang dari dunia pendidikan di tanah air. Menilai bukan hanya dengan angka-angka dan kecukupan materi semata tetapi juga menilai dengan HATI NURANI.

Singkat kata, film ini cukup menyegarkan mata karena 80% gambar mengambil setting alam bebas dan sisanya situasi kota kecamatan Manggar. Sebuah setting lokasi yang jauh dari gemerlap kemewahan dan gedung ibu kota. Tapi juga sebuah film yang penuh hasrat untuk tetap ”Mengantungkan cita-cita setinggi bintang di langit”.

Saking bagusnya film ini, kemudian membuat saya untuk kembali lagi menonton di malam berikutnya. Jadi dalam dua malam berturut-turut, saya menonton film Laskar Pelangi dengan penuh kagum, dan berjanji pada seseorang yang baru saya kenal di dunia maya ini untuk membaca tetralogi novel karya Andrea Hirata ini..

No comments: